Ketika sedang membereskan kamar, saya menemukan sebuah novel yang berjudul “Sheila, luka hati seorang gadis kecil”. Novel ini ditulis oleh seorang psikolog pendidikan dan guru pendidikan yang bernama Torey Hayden yang sejak tahun 1979 telah mengisahkan perjuangannya diruang kelasnya. Ketika membaca sinopsisnya di belakang novel tersebut, saya sangat tertarik untuk membacanya lebih jauh.
Beginilah sebagian dari ceritanya:
Torey mengajar disebuah kelas khusus untuk anak-anak yang “bermasalah” baik secara fisik maupun mental. Ada 8 anak yang diajar oleh Torey.
Yang pertama adalah Peter, seorang anak yang kondisi neurologisnya buruk sehingga perilakunya sangat kasar. Yang kedua adalah Tyler, seorang anak perempuan yang mencoba bunuh diri dua kali. Yang ketiga bernama Max yang menderita autisme. Yang keempat adalah Freddie yang diduga menderita autisme, namaun ada juga yang menduga mengalami keterbelakangan mental yang parah. Yang kelima adalah Sarah, seorang anak yang menjadi korban penyiksaan fisik dan seksual yang menjadikannya pemarah dan pembangkang. Yang keenam bernama Susannah Joy yang menderita skizofrenia kanak-kanak. Yang ketujuh bernama William yang takut akan segala hal. Lalu yang terakhir bernama Guillermo, anak imigran Meksiko yang buta dan pemarah.
Dalam mengajar kedelapan anak tersebut, Torey dibantu oleh dua orang assistant pengajar. Yang pertama bernama Anton seorang imigran Meksiko berumur 29 tahun yang belum lulus SMU dan tidak pernah membayangkan berkeja di bidang pendidikan yang berisi anak-anak “khusus”. Yang kedua adalah Whitney, seorang murid SMP. Jadilah mereka berdua kelas didalam kelas tersebut.
Berbagai macam metode pengajaran dilakukan oleh Toren dan kedua asisstentnya untuk menambah kemampuan kedelapan anak-anak dalam berbagai aspek, diantaranya, diskusi pagi yang membahas tentang berbagai hal, kelas memasak di hari rabu, dan mengadakan kotak ajaib yang berisikan curahaan hati setiap anak yang ada di kelas.
Beberapa bulan kemudian, kelas mereka bertambah satu orang murid bernama Sheila. Sheila adalah seorang anak berumur 6 tahun yang membakar seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Perilakunya sangat destruktif, pemarah dan pendendam. Ia benci akan segala hal. Sheila dibesarkan tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ibunya pergi meninggalkannya bersama dengan adiknya, sedangkan ayahnya selalu mengatakan anak haram kepada dirinya dan selalu disiksa. Tubuhnya sangat bau oleh bau pesing karena bajunya tidak pernah diganti. Karena peristiwa pembakaran tersebut, Sheila akan dimasukan ke rumah sakit negara. Namun, karena tidak ada instalasi khusus anak, ia ditempatkan sementara di kelas Torey sampai instalasi anak dibuka.
Dihari pertama Sheila dikelas tersebut ia sangat pemarah. Ia tidak mau melakukan semua tugas yang diberikan oleh Torey. Di hari yang sama, Sheila melakukan hal yang tidak terduga, ia mencungkil mata ikan mas yang ada di kelas mereka sehingga kelas menjadi sangat kacau dan tak terkendali. Sheila lari dan Torey mengejarnya. Torey berusaha untuk berbicara dari hati ke hati dengan Sheila bahwa ia adalah seorang teman yang tidak perlu ditakuti. Namun Sheila tidak percaya begitu saja. Torey meyakinkan kembali, lagi dan lagi untuk waktu yang sangat lama. Akhirnya, Sheila pun mau untuk mendekat walaupun sikapnya masih sangat waspada terhadap Torey.
Setelah kejadian tersebut, tidk ada seorangpun yang membahas kejadian tragedy ikan. Hari-hari berjalan dengan normal. Seperti biasa, Sheila tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh Torey. Torey memberikan pengertian kepadanya. Dengan kesabaran dam kasih saying, Torey berusaha untuk mengubahnya menjadi anak yang baik. Lambat laun perilaku Sheila berubah. Ia tidak lagi menjadi anak yang destruktif melainkan membaantu teman-temannya yang sedang kesulitan sehinga memperingan tugas Torey dan kedua asistentnya. Ia mau mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh Torey. Namun ada kalanya juga perilaku destruktifnya itu timbul bahkan bisa lebih parah dari yang sebelumnya.
Suatu ketika Torey ingin megetahui IQ Sheila karena selama ini Torey memperhatikan sikap dan perilakunya tidak seperti anak-anak yang ada dikelasnya dan tidak seperti anak umut 6 tahun. Hasilnya sangat menakjubkan. Sheila mencapai angka 102, untuk anak semur Sheila skor hanya mencapai angka 99. Allan, psikolog sekolah tempat Torey mengajar pun mengatakan hal yang sama dan terkagum-kagum, ia pun berusaha untuk mencari tes yang dapat mengukur IQ Sheila. IQ Sheila setara dengan anak kelas 5. Torey sangat yakin bahwa Sheila tidak layak dimasukan kedalam rumah sakit negara. Ia bersikeras untuk menampatkan Sheila di sekolah biasa, di sekolah normal .
Ketika instalasi anak di rumah sakit Negara sudah dibuka, mau tidak mau Sheila harus ditempatkan di sana karena pengadilan sudah memutuskannya. Namun, Torey sudah sangat mencintainya dan ia berusaha untuk menempatkan Sheila di sekolah umum. Dengan bantuaan pacarnya, Chad, seorang pengacara, ia menentang pengadilan dan berusaha untuk menempatkan Sheila di sekolah umum. Akhirnya, kemenangan diraih oleh Torey sehingga Sheila tidak perlu dimasukan kedalam rumah sakit Negara. Sheila bisa bersekolah di sekolah umum.
Akhirnya, Sheila bisa di sekolahkan di sekolah umum.
Setelah membaca seluruh isi buku yang sangat menegangkan, mengharukan, dan lucu ini, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa kasih saying dan cinta yang tulus dapat “menjinakan” kebencian dan menjadikan seseorang menjadi lebih baik. Setiap bab dalam buku ini sangat bermakna.
Buku ini juga menjadi inspiriasi saya untuk tetap berjuang menempuh pendidikan kuliah di bidang psikologi, sepertinya sangat mengasikan menjadi seorang psikolog. Cita-cita saya dari kecil adalah menjadi seorang guru. Ketika pemilihan jurusan untuk masuk kuliah, tidak terpikir untuk masuk psikologi. Saya masuk psikologi dengan sangat terpaksa. Setelah membaca buku ini sepertinya menjadi seorang psikolog di bidang pendidikan ataupun perkembangan anak sangat seru. Saya menjadi terinsporasi oleh buku ini. TWO THUMBS UP FOR THIS BOOK!!! I LOVE THIS BOOK!!!!
Desember 17, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: p3mp3m . Comments: 1 Komentar